Selasa, 09 Juni 2015

tugas softskill juni 2015


A.    Konsep Dasar Perspektif Integratif

Psikoterapi integratif adalah hasil dari perpaduan dari konsep teoritis dan teknik klinis dari dua atau lebih sekolah psikoterapi tradisional (seperti terapi psikoanalisis dan behavior) menjadi satu pendekatan terapi. Diharapkan bahwa terapi sintesis ini akan lebih kuat dan berlaku untuk populasi dan masalah klinis yang lebih luas daripada psikoterapi model individual yang membentuk dasar dari model integrasi.
Sejarah awal upaya integrasi disusun oleh Marvin Goldfried dan Cory Newman pada tahun 1992, dan oleh Jerold Gold pada tahun 1993, diidentifikasi terpencar tapi memiliki kontribusi yang penting sejak 1933, ketika Thomas French berpendapat bahwa konsep dari pembelajaran Pavlov harus diintegrasikan dengan psikoanalisis. Pada tahun 1944, Robert Sears menawarkan sebuah perpaduan dari teori belajar dan psikoanalisis seperti yang dilakukan John Dollard dan Neal Miller pada tahun 1950 yang diterjemahkan dari konsep dan metode psikoanalisis ke dalam bahasa dan kerangka prinsip-prinsip pembelajaran laboratorium.
Pada tahun 1992 John Norcross dan Cory Newman mengidentifikasi delapan variabel yang mendorong penyebaran psikoterapi integratif setelah puluhan tahun, yaitu: (1) meningkatnya jumlah sekolah psikoterapi, (2) kurang jelasnya dukungan empiris untuk keberhasilan sekolah terapi, (3) kegagalan teori tunggal untuk menjelaskan dan memprediksi patologi, atau perubahan perilaku dan kepribadian, (4) pertumbuhan jumlah dan kepentingan jangka pendek, psikoterapi terfokus, (5) komunikasi yang lebih besar antara klinisi dan sarjana yang menghasilkan kesediaan, kesempatan, dan eksperimentasi, (6) gangguan dalam ruang konsultasi dari realitas dukungan sosial ekonomi yang terbatas oleh pihak ketiga untuk psikoterapi jangka panjang, (7) identifikasi faktor-faktor umum dalam psikoterapi yang terkait dengan hasil, (8) perkembangan organisasi profesi, konferensi, dan jurnal yang didedikasikan untuk diskusi dan studi perspektif integratif.

B.     Unsur-unsur Perspektif Integratif

1.      Tujuan Terapi
Tujuan konseling dalam perspektif integratif yaitu membantu konseli mengembangkan integritasnya pada level tertinggi, yang ditandai oleh adanya aktualisasi diri dan integritas yang memuaskan.
Untuk mencapai tujuan yang ideal ini maka konseli perlu dibantu untuk menyadari sepenuhnya situasi masalahnya, mengajarkan konseli secara sadar dan intensif memiliki latihan pengendalian di atas masalah tingkah laku. Terapi ini berfokus secara langsung pada tingkah laku, tujuan, masalah dan sebagainya.

2.      Peran Konselor

Beberapa ahli memberi penekanan bahwa konselor perlu memberi perhatian kepada konseli, menciptakan iklim yang kondusif bagi perubahan yang diinginkan konseli. Pada dasarnya seluruh pendekatan berkeinginan membantu konseli mengubah diri konseli.
a.         konselor,
b.         psikiater,
c.         guru,
d.        konsultan,
e.         fasilitator,
f.          mentor,
g.         advisor, atau
h.         pelatih.



C.    Teknik-teknik Terapi

Goldfried dan Norcross berpendapat bahwa dalam perspektif integratif terdapat tiga teknik terapi, yaitu: (1) teknik dengan pendekatan eklektik, (2) integrasi teoritis, dan (3) pendekatan faktor umum.
Pendekatan yang menggunakan teknik dengan pendekatan eklektik (technical eclecticism) berusaha untuk mencocokan antara intervensi spesifik bagi setiap klien dan dalam hal menampilkan permasalahan. Para terapis tersebut tidak berafiliasi dengan model teoritis tertentu, tetapi mereka bersedia mengakui bahwa teknik tertentu dapat efektif dalam menangani permasalahan tertentu. Misalnya, terapis yang tidak terlalu sering menggunakan teknik perilaku dapat memahami kelebihan dari desentisiasi sistemik dalam merawat klien dengan fobia dan penggunaan teknik-teknik yang bersifat eksplorasi dalam memahami sumber perkembangan dari ketakutan dan gaya dependen klien tersebut.
Eklektikisme (electicsm) adalah pandangan yang berusaha menyelidiki berbagai sistem metode, teori, atau doktrin, yang dimaksudkan untuk memahami dan bagaimana menerapkannya dalam situasi yang tepat. Teori-teori yang dipelajari tersebut dalam beberapa hal dapat dikatakan benar sekalipun tampak satu dengan lainnya saling bertentangan. Eklektikisme berusaha untuk mempelajari teori-teori yang ada dan menerapkannya dalam situasi yang dipandang tepat.
            Pendekatan konseling eklektik berarti konseling yang didasarkan pada berbagai konsep dan tidak berorientasi pada satu pendekatan secara eksklusif. Eklektikisme berpandangan bahwa sebuah teori memiliki keterbatasan konsep, prosedur, dan teknik. Karena itu eklektikisme “dengan sengaja” mempelajari berbagai teori dan menerapkannya sesuai dengan keadaan riil konseli.
            Konseling eklektik dapat pula disebut dengan pendekatan konseling integratif. Perkembangan pendekatan ini sudah dimulai sejak tahun 1940-an, yaitu ketika F.C. Thorne menyumbangkan pikirannya dengan mengumpulkan dan mengevaluasi semua metode konseling yang ada (Gilliland dkk., 1984).
            Dari tahun 1945 hingga meninggalnya tahun 1978, Thorne telah memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi upaya pengintegrasian seluruh pengetahuan psikologi ke dalam pendekatan yang sistematis dan komprehensif untuk konseling dan psikoterapi. Dari kerja kerasnya ini Thorne memperoleh sambutan positif dan sangat luas dari kalangan psikolog. Hal ini ditunjukkan dengan kenyataan bahwa pada 1945 tidak ada anggota APA khususnya Divisi Psikologi Klinis yang berkiblat pada ekletik, dan pada 1970 lebih 50% anggota APA telah merujuk pada ekletik. Pertengahan tahun 1970-an 64% telah berorientasi pada eklektik (Gilliland dkk., 1984). Oleh karena itu, menurut Prochoska (1984), konseling eklektik telah menjadi aliran konseling yang paling populer di antara terapi modern yang ada.
            Di antara ahli-ahli eklektik adalah Brammer dan Shostrom sejak 1960 yang mengembangkan model konseling yang dinamakan “actualization counseling”, dan telah membawa konseling ke dalam kerangka kerja lebih luas, yang tidak terbatas pada satu perdekatan tetapi mengupayakan pendekatan yang integratif dari berbagai pendekatan.
            Pada akhir 1960-an hingga 1977, R. Carkhuff juga telah mengembangkan konseling eklektik, dengan cara melakukan testing dan riset secara konprehensif, sistematik, dan terintegratif. Ahli lain yang turut membantu pengembangan konseling ekletik diantaranya G. Egan dengan istilah systemic helping, Prochaska (1984) dengan nama integrative eclectic.
Integrasi teoritis (theoretical integration) melibatkan formulasi pendekatan psikoterapi yang memberikan model yang berbeda-beda dan memberikan dasar yang konsisten dalam pekerjaan klinis seseorang. Misalnya, klinisi secara konsisten dapat memilih dua dasar teoritis, seperti sistem keluarga dan perilaku kognitif yang kemudian dari kedua dasar teoritis tersebut klinisi mengembangkan model intervensi. Dengan cara tertentu, klinisi mengembangkan modelnya sendiri berdasarkan sintesis konseptual yang memberikan kontribusi terhadap model yang telah dikembangkan sebelumnya. Pada permasalahan independen yang ada saat ini, terapis dengan konsisten dapat mencari cara ketika sistem keluarga dan kognisi yang maladaptif memberikan kontribusi terhadap stres pada klien. Intervensi yang dilakukan berdasarkan pada pendekatan yang membawa kedua model secara bersamaan.
Pada saat menggunakan pendekatan faktor umum (common factor approach) pada integrasi, klinisi mengembangkan strategi dengan mempelajari kesamaan inti unsur dari berbagai macam terapi dan memilih komponen yang selama beberapa waktu  memperlihatkan sebagai kontributor yang sangat efektif dalam memberikan hasil yang positif dari psikoterapi. Dukungan yang kuat telah muncul dalam beberapa tahun terakhir terhadap pentingnya membina hubungan antara klien dan terapis dalam menentukan efisiensi treatmen. Sejalan dengan analisis ilmiah yang dapat dipercaya mengenai hasil penelitian psikoterapi, Wampold(dalam Halgin & Whitbourne, 2010) menyimpulkan bahwa faktor umum jika dibandingkan dengan teknik yang spesifik adalah faktor yang dapat membuat psikoterapi bekerja. Pada kenyatannya, ia mempertimbangkan faktor-faktor yang saling bergabung sebagai komponenkunci dari psikoterapi. “Penggabungan tampaknya merupakan aspek yang penting dari terapi, tanpa menghiraukan sifat dasar terapi”. Beberapa klinisi mengombinasikan elemen dari tiga pendekatan integral yang menghasilkan dengan apa yang disebut sebagai mixed model of integration.

Sumber:
Habib & Hidayati. 2012. Intervensi Psikologis pada Pendidikan Anak dengan Keterlambatan         Bicara.Jurnal Madrasah, 5, 1, 86-91.