A.
Konsep Dasar Perspektif Integratif
Psikoterapi
integratif adalah hasil dari perpaduan dari konsep teoritis dan teknik klinis
dari dua atau lebih sekolah psikoterapi tradisional (seperti terapi
psikoanalisis dan behavior) menjadi satu pendekatan terapi. Diharapkan bahwa
terapi sintesis ini akan lebih kuat dan berlaku untuk populasi dan masalah
klinis yang lebih luas daripada psikoterapi model individual yang membentuk
dasar dari model integrasi.
Sejarah awal
upaya integrasi disusun oleh Marvin Goldfried dan Cory Newman pada tahun 1992,
dan oleh Jerold Gold pada tahun 1993, diidentifikasi terpencar tapi memiliki
kontribusi yang penting sejak 1933, ketika Thomas French berpendapat bahwa
konsep dari pembelajaran Pavlov harus diintegrasikan dengan psikoanalisis. Pada
tahun 1944, Robert Sears menawarkan sebuah perpaduan dari teori belajar dan
psikoanalisis seperti yang dilakukan John Dollard dan Neal Miller pada tahun
1950 yang diterjemahkan dari konsep dan metode psikoanalisis ke dalam bahasa
dan kerangka prinsip-prinsip pembelajaran laboratorium.
Pada tahun
1992 John Norcross dan Cory Newman mengidentifikasi delapan variabel yang
mendorong penyebaran psikoterapi integratif setelah puluhan tahun, yaitu: (1)
meningkatnya jumlah sekolah psikoterapi, (2) kurang jelasnya dukungan empiris
untuk keberhasilan sekolah terapi, (3) kegagalan teori tunggal untuk
menjelaskan dan memprediksi patologi, atau perubahan perilaku dan kepribadian,
(4) pertumbuhan jumlah dan kepentingan jangka pendek, psikoterapi terfokus, (5)
komunikasi yang lebih besar antara klinisi dan sarjana yang menghasilkan
kesediaan, kesempatan, dan eksperimentasi, (6) gangguan dalam ruang konsultasi
dari realitas dukungan sosial ekonomi yang terbatas oleh pihak ketiga untuk
psikoterapi jangka panjang, (7) identifikasi faktor-faktor umum dalam
psikoterapi yang terkait dengan hasil, (8) perkembangan organisasi profesi,
konferensi, dan jurnal yang didedikasikan untuk diskusi dan studi perspektif
integratif.
B.
Unsur-unsur Perspektif Integratif
1.
Tujuan Terapi
Tujuan konseling dalam perspektif integratif yaitu membantu konseli
mengembangkan integritasnya pada level tertinggi, yang ditandai oleh adanya
aktualisasi diri dan integritas yang memuaskan.
Untuk mencapai tujuan yang ideal ini maka konseli perlu dibantu untuk
menyadari sepenuhnya situasi masalahnya, mengajarkan konseli secara sadar dan
intensif memiliki latihan pengendalian di atas masalah tingkah laku. Terapi ini
berfokus secara langsung pada tingkah laku, tujuan, masalah dan sebagainya.
2.
Peran Konselor
Beberapa ahli memberi penekanan bahwa konselor perlu memberi perhatian
kepada konseli, menciptakan iklim yang kondusif bagi perubahan yang diinginkan
konseli. Pada dasarnya seluruh pendekatan berkeinginan membantu konseli
mengubah diri konseli.
a.
konselor,
b.
psikiater,
c.
guru,
d.
konsultan,
e.
fasilitator,
f.
mentor,
g.
advisor, atau
h.
pelatih.
C.
Teknik-teknik Terapi
Goldfried
dan Norcross berpendapat bahwa dalam perspektif integratif terdapat tiga teknik
terapi, yaitu: (1) teknik dengan pendekatan eklektik, (2) integrasi teoritis,
dan (3) pendekatan faktor umum.
Pendekatan
yang menggunakan teknik dengan pendekatan eklektik (technical eclecticism) berusaha untuk mencocokan antara intervensi
spesifik bagi setiap klien dan dalam hal menampilkan permasalahan. Para terapis
tersebut tidak berafiliasi dengan model teoritis tertentu, tetapi mereka
bersedia mengakui bahwa teknik tertentu dapat efektif dalam menangani
permasalahan tertentu. Misalnya, terapis yang tidak terlalu sering menggunakan
teknik perilaku dapat memahami kelebihan dari desentisiasi sistemik dalam
merawat klien dengan fobia dan penggunaan teknik-teknik yang bersifat
eksplorasi dalam memahami sumber perkembangan dari ketakutan dan gaya dependen
klien tersebut.
Eklektikisme (electicsm) adalah pandangan yang berusaha menyelidiki
berbagai sistem metode, teori, atau doktrin, yang dimaksudkan untuk memahami
dan bagaimana menerapkannya dalam situasi yang tepat. Teori-teori yang
dipelajari tersebut dalam beberapa hal dapat dikatakan benar sekalipun tampak
satu dengan lainnya saling bertentangan. Eklektikisme berusaha untuk
mempelajari teori-teori yang ada dan menerapkannya dalam situasi yang dipandang
tepat.
Pendekatan konseling eklektik
berarti konseling yang didasarkan pada berbagai konsep dan tidak berorientasi
pada satu pendekatan secara eksklusif. Eklektikisme berpandangan bahwa sebuah
teori memiliki keterbatasan konsep, prosedur, dan teknik. Karena itu
eklektikisme “dengan sengaja” mempelajari berbagai teori dan menerapkannya
sesuai dengan keadaan riil konseli.
Konseling eklektik dapat pula
disebut dengan pendekatan konseling integratif. Perkembangan pendekatan ini
sudah dimulai sejak tahun 1940-an, yaitu ketika F.C. Thorne menyumbangkan
pikirannya dengan mengumpulkan dan mengevaluasi semua metode konseling yang ada
(Gilliland dkk., 1984).
Dari tahun 1945 hingga meninggalnya
tahun 1978, Thorne telah memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi upaya
pengintegrasian seluruh pengetahuan psikologi ke dalam pendekatan yang
sistematis dan komprehensif untuk konseling dan psikoterapi. Dari kerja
kerasnya ini Thorne memperoleh sambutan positif dan sangat luas dari kalangan
psikolog. Hal ini ditunjukkan dengan kenyataan bahwa pada 1945 tidak ada
anggota APA khususnya Divisi Psikologi Klinis yang berkiblat pada ekletik, dan
pada 1970 lebih 50% anggota APA telah merujuk pada ekletik. Pertengahan tahun
1970-an 64% telah berorientasi pada eklektik (Gilliland dkk., 1984). Oleh
karena itu, menurut Prochoska (1984), konseling eklektik telah menjadi aliran
konseling yang paling populer di antara terapi modern yang ada.
Di antara ahli-ahli eklektik adalah
Brammer dan Shostrom sejak 1960 yang mengembangkan model konseling yang dinamakan
“actualization counseling”, dan telah membawa konseling ke dalam kerangka kerja
lebih luas, yang tidak terbatas pada satu perdekatan tetapi mengupayakan
pendekatan yang integratif dari berbagai pendekatan.
Pada akhir 1960-an hingga 1977, R.
Carkhuff juga telah mengembangkan konseling eklektik, dengan cara melakukan testing dan riset secara konprehensif,
sistematik, dan terintegratif. Ahli lain yang turut membantu pengembangan
konseling ekletik diantaranya G. Egan dengan istilah systemic helping, Prochaska (1984) dengan nama integrative eclectic.
Integrasi
teoritis (theoretical integration) melibatkan
formulasi pendekatan psikoterapi yang memberikan model yang berbeda-beda dan memberikan
dasar yang konsisten dalam pekerjaan klinis seseorang. Misalnya, klinisi secara
konsisten dapat memilih dua dasar teoritis, seperti sistem keluarga dan
perilaku kognitif yang kemudian dari kedua dasar teoritis tersebut klinisi
mengembangkan model intervensi. Dengan cara tertentu, klinisi mengembangkan
modelnya sendiri berdasarkan sintesis konseptual yang memberikan kontribusi
terhadap model yang telah dikembangkan sebelumnya. Pada permasalahan independen
yang ada saat ini, terapis dengan konsisten dapat mencari cara ketika sistem
keluarga dan kognisi yang maladaptif memberikan kontribusi terhadap stres pada
klien. Intervensi yang dilakukan berdasarkan pada pendekatan yang membawa kedua
model secara bersamaan.
Pada saat
menggunakan pendekatan faktor umum (common
factor approach) pada integrasi, klinisi mengembangkan strategi dengan
mempelajari kesamaan inti unsur dari berbagai macam terapi dan memilih komponen
yang selama beberapa waktu
memperlihatkan sebagai kontributor yang sangat efektif dalam memberikan
hasil yang positif dari psikoterapi. Dukungan yang kuat telah muncul dalam
beberapa tahun terakhir terhadap pentingnya membina hubungan antara klien dan
terapis dalam menentukan efisiensi treatmen. Sejalan dengan analisis ilmiah
yang dapat dipercaya mengenai hasil penelitian psikoterapi, Wampold(dalam
Halgin & Whitbourne, 2010) menyimpulkan bahwa faktor umum jika dibandingkan
dengan teknik yang spesifik adalah faktor yang dapat membuat psikoterapi
bekerja. Pada kenyatannya, ia mempertimbangkan faktor-faktor yang saling
bergabung sebagai komponenkunci dari psikoterapi. “Penggabungan tampaknya
merupakan aspek yang penting dari terapi, tanpa menghiraukan sifat dasar
terapi”. Beberapa klinisi mengombinasikan elemen dari tiga pendekatan integral
yang menghasilkan dengan apa yang disebut sebagai mixed model of integration.
Sumber:
Habib & Hidayati. 2012.
Intervensi Psikologis pada Pendidikan Anak dengan Keterlambatan Bicara.Jurnal Madrasah, 5, 1, 86-91.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar